Medan,Metroasia.co – Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PDTH) terhadap AKBP Brotoseno harus dilakukan oleh Polri karena perbuatannya terbukti bersalah sehingga menciderai institusi dan rasa keadilan masyarakat.
Revisi Peraturan Kapolri tentang Etika Profesi dan Komisi Etik Polri dengan menambahkan klausula peninjauan kembali yang hanya sebatas ditujukan terhadap AKBP Brotoseno merupakan bentuk “previlege”.
Hal ini disampaikan oleh Dr. Alpi Sahari, SH. M. Hum Dosen Pascasarjana dan Ketua Prodil Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, melalui keterangan tertulisnya Selasa (14/06).
Artinya bahwa Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listiyo Sigit Prabowo, MSI berpikir secara pragmatis dengan dasar rasa keadilan masyarakat, seharusnya Kapolri Jenderal Listiyo Sigit Prabowo berpikir secara dogmatik dengan dasar keadilan transformatif dengan melihat akar masalah timbulnya putusan Komisi Etik Polri sehingga putusan-putusan seperti AKBP Brotoseno tidak terulang lagi dikemudian hari.
Disamping itu sebagai bahan evaluasi untuk membenahi permasalahan etika profesi dan komisi etik Polri. Akar masalah yang seharusnya direvisi adalah klausula “dapat dipertahankan menurut pejabat yang berwenang dalam dinas kepolisian”.
Klausula ini harus diperjelas batasannya karena ketidakjelasan batasan ini yang menimbulkan polemik terkait AKBP Brotoseno bukan mempersoalkan peninjauan kembali.
Akibat ketidakjelasan akhirnya menimbulkan disparitas berbagai putusan Komisi Etik Polri.
Disparitas ini berawal dari alasan PDTH didasarkan pada “Ancaman Pidana” atau “Penjatuhan Sanksi Pidana”. Apabila didasarkan “Ancaman Pidana” yang selanjutnya diputus oleh Komisi Etik dengan PDTH namun ternyata di Putus oleh Pengadilan dinyatakan “tidak bersalah” berarti Komisi Etik telah melanggar asas di dalam hukum pidana berupa presumption of Innocent: reaksi atas paradigma individualistik.
Dalam hal Pengadilan menyatakan tidak bersalah berarti Putusan Etik berupa PDTH secara otomatis gugur, mekanisme ini seharusnya diatur dalam revisi Perkap sehingga terciptanya keteraturan di dalam transformasi substantif, disamping itu adanya sanksi terhadap komisi etik yang tidak memulihkan nama baik personil yang di PDTH dimaksud.
Klausula dapat dipertahankan menurut pejabat yang berwenang seharusnya tidak dapat digunakan terhadap putusan Pengadilan yang dinyatakan bersalah dan diberikan sanksi pidana berupa pidana penjara.
Revisi seharusnya mengatur tentang kualifikasi delik apa saja yang harus “bukan dapat” di PDTH walaupun sanksi pidananya yang diputus oleh Pengadilan kurang dari 2 tahun pidana penjara misalnya kualifikasi delik terhadap kejahatan extra ordinary crime, transnational crime dan kejahatan terhadap sumber daya alam.(*)