Jakarta,Metroasia.co – Ramainya pemberitaan terhadap polemik pemindahan makam oleh lembaga-lembaga adat masyarakat Gayo yang ada dalam kawasan pembangunan Bendungan Krueng Keuruto, di Kampung Simpur, Kecamatan Mesidah, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh adalah bukti dugaan adanya kesewenangan terhadap ganti kerugian pada pengadaan tanah dan merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal itu disampaikan oleh Yuyung Priadi, SH., sebagai Pemerhati Hukum di Jakarta, Sabtu (02/09/2023).
Yuyung mengatakan, makam yang ada dalam kawasan pembangunan Bendungan Keureuto merupakan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dijelaskan Pasal 1 angka (4) No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah No. 2/2012) menyebutkan, bahwa Objek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai, dimana makam adalah bangunan dan atau benda yang berkaitan dengan tanah.
“Oleh karena makam merupakan objek Pengadaan Tanah maka wajib diberikan Ganti Kerugian sebagaimana Pasal 1 angka (2) UU Pengadaan Tanah No. 2/2012 yang menyebutkan Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada Pihak yang Berhak,” jelas seorang Advokat itu.
Yuyung mengatakan, adanya polemik tersebut diduga lantaran pelaksana pembangunan Bendungan Keureuto tidak memberikan kelayakan dan keadilan Ganti Kerugian kepada keluarga atau ahli waris pemilik makam terhadap keberlangsungan keberadaan makam keluarganya sebagai Pihak yang Berhak sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka (3) UU Pengadaan Tanah No. 2/2012 menyebutkan, bahwa Pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki Objek Pengadaan Tanah.
Ketidaklayakan dan ketidakadilan tersebut bisa terjadi akibat pelaksana pembangunan Bendungan Keureuto tidak melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan keluarga atau ahli waris pemilik makam terkait rencana pemindahan makam keluarganya sebagai bentuk Ganti Kerugian sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Menurut Yuyung, bisa saja pihak keluarga atau ahli waris pemilik makam ingin memindahkan kuburan keluarganya ditempat yang diinginkan oleh masing-masing pihak agar lebih dekat atau terjangkau dengan tempat tinggalnya saat ini, sehingga atas pemindahan makam tersebut tidak bisa secara kehendak sepihak yang akhirnya menimbulkan adanya kesan arogan penguasa.
“Jika hal demikian adanya maka merupakan perbuatan kesewenangan yang merampas kepentingan hukum Pihak yang Berhak dimana seharusnya dijamin kepentingan hukum tersebut dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dijelaskan Pasal 3 UU Pengadaan Tanah No. 2/2012 menyebutkan, bahwa Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak,” terang aktivis LSM Pers dan Riset Indonesia itu.
Yuyung mengatakan, kepentingan hukum Pihak yang Berhak dalam hal ini keluarga atau ahli waris pemilik makam mendapat perlindungan hukum oleh undang undang atas suatu tempat persinggahan terakhir keluarganya yang sudah meninggal sebagaimana dijelaskan Pasal 29 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM No. 39/1999) yang menyebutkan, bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.
Bahwa atas tempat persemayaman orang meninggal (benda) yang akan dimusnahkan demi kepentingan umum diberikan Ganti Kerugian sebagaimana dijelaskan Pasal 37 ayat (2) UU HAM No. 39/1999 yang menyebutkan, bahwa apabila suatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.
“Tentunya dalam hal ini pemberian Ganti Kerugian tersebut harus sesuai peraturan perundang-undangan pengadaan tanah untuk kepentingan umum,” katanya.
Yuyung mengatakan, adanya polemik pemindahan makam tersebut adalah akibat suatu kesengajaan atau pun kelalaian yang diduga telah merampas kepentingan hukum keluarga atau ahli waris pemilik makam yang memiliki hak perlindungan rasa aman atas keberadaan makam keluarganya sehingga perbuatan tersebut merupakan pelanggaran HAM sebagaimana Pasal 1 angka (6) UU HAM No. 39/1999 menyebutkan, pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
“Hal itu jelas pelanggaran HAM terhadap pemindahan makam yang tidak sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan pengadaan tanah untuk kepentingan umum sehingga melanggar kepentingan hukum keluarga atau ahli waris pemilik makam terhadap jaminan perlindungan atas keberlangsungan keberadaan makam keluarganya,” kata pengacara pada kantor hukum YF and Partners itu.
Yuyung juga mengatakan, dugaan pelanggaran HAM pada pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Keureuto juga sangat jelas terjadi kepada para masyarakat penggarap tanah sejak tahun 2004 yang berada di Kampung Simpur, Kecamatan Mesidah, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh yang telah memiliki bukti dokumen surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah dan pembayaran pajak sebagaimana Pasal 24 ayat (2)
huruf d dan PENJELASANNYA Jo. Pasal 18 ayat (2) Jo. Pasal 1 angka (2) dan (5) PP Pengadaan Tanah No.19/2021 yang hingga saat ini belum terdapat Pelepasan Hak dan Ganti Kerugian namun tanah telah dipakai untuk kegiatan pembangunan Bendungan Krueng Keureuto.
Menurutnya, perbuatan penggunaan tanah pada pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebelum dilakukan Pelepasan Hak dan pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak adalah perbuatan pelanggaran yang tidak sesuai Pasal 5 UU Pengadaan Tanah No. 2/2012 menyebutkan, bahwa Pihak yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Oleh karenanya pemberian Ganti Kerugian pada pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Keureuto di Kampung Simpur, Kecamatan Mesidah dan Kampung Pasir Putih, Kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah adalah tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan, bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah,” pungkasnya.(Rel)