Medan,Metroasia.co -Jaksa Agung RI ST Burhanuddin mengatakan bahwa hukum yang baik idealnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekadar prosedur hukum. Di samping harus kompeten dan adil, hukum juga harus mampu mengenali keinginan publik yang tergambar dalam hukum yang hidup di masyarakat serta berorientasi terhadap tercapainya nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum.
Untuk itu diperlukan hukum yang responsif sebagai sebuah jawaban atas keinginan masyarakat terhadap pemberlakuan hukum yang berlandaskan hukum yang hidup di masyarakat. Keadilan restoratif merupakan pendekatan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan sekadar pembalasan terhadap pelaku tindak pidana.
Perwujudan dari penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif di wilayah hukum Kejati Sumut, hingga awal Desember 2023 sudah mencapai 140 perkara. Dimana, proses penghentian penuntutan perkara ini telah mengikuti proses berjenjang hingga akhirnya disetujui JAM Pidum Kejagung RI untuk dihentikan.
Menurut Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kajati Sumut) Idianto, SH,MH melalui Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan, SH,MH, saat dikonfirmasi wartawan, Minggu (10/12/2023) dari 140 perkara yang dihentikan dengan pendekatan humanis, urutan pertama penyumbang perkara terbesar untuk dihentikan adalah Kejari Simalungun (15 perkara) disusul Kejari Langkat (14 perkara), kemudian Kejari Asahan dan Kejari Labuhanbatu (masing-masing 13 perkara).
“Untuk urutan 4, 5 dan 6 adalah Cabjari Deli Serdang di Labuhan Deli (10 perkara), Kejari Belawan (8 perkara) dan Kejari Tanjung Balai (7 perkara), selebihnya bervariasi dari 1 perkara sampai 5 perkara,” kata Yos A Tarigan.
Adapun syarat dari penghentian penuntutan terhadap perkara pidana yang diajukan adalah tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun, kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp 2,5 juta, antara tersangka dan korban ada kesepakatan untuk berdamai.
“Yang terpenting dari proses penghentian penuntutan perkara ini adalah esensinya, kenapa tersangka melakukan tindak pidana dan tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya,” kata Yos A Tarigan.
Mantan Kasi Pidsus Kejari Deli Serdang ini menyampaikan dengan terwujudnya perdamaian antara tersangka dan korban, maka penghentian penuntutan ini lebih menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan sekadar pembalasan terhadap pelaku tindak pidana.
“Penerapan keadilan restoratif berdasarkan Perja No. 15 Tahun 2020 lebih menekankan pada tercapainya nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum,” tandasnya.(Rek)