Oleh; Thomas Martunas Simanullang Mahasiswa STT HKBP Pematang Siantar
Pematangsiantar,Metroasia.co – Sering kita dengarkan para pengkhotbah-pengkhotbah gereja dalam penggunaan bahasa cenderung memilih menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan menggunakan bahasa daerah yang berlaku. Tanpa melihat siapa pendengar khotbah tersebut, apakah kaum milenial atau orangtua.
Pola pikir masyarakat yang berbeda-beda dari zaman ke zaman adalah tantangan terbesar gereja dalam menyikapi pemilihan penggunaan bahasa dalam berkhotbah. Pola pikir yang berbeda tentu memiliki selera yang juga berbeda. Dapat kita lihat bahwa di zaman ini, muncul “bahasa gaul” yang banyak digunakan kaum milenial saat ini.
Terciptanya “bahasa gaul” biasanya dikarenakan untuk mengungkapkan ekspresi kaum milenial di zaman ini. Bahasa gaul ini berkembang pesat baik melalui lisan dan juga media sosial. Kaum milenial sekarang lebih senang dan sering menggunakan “bahasa gaul” dalam kehidupan sehari-hari. Tentu ini perlu menjadi perhatian khusus gereja dalam menyampaikan isi khotbah untuk kaum milenial.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Tentu bahasa yang digunakan dalam berkhotbah sangat berpengaruh besar terhadap siapa sasaran pendengarnya. Bahasa digunakan salah satunya untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Seorang komunikator harus dapat menyampaikan pesan kepada komunikan dengan jelas dan detail.
Lalu bolehkah menggunakan “bahasa gaul” dalam berkhotbah? Menurut Pendeta Rom Tampubolon yang merupakan pendeta pensiunan HKBP. Boleh-boleh saja berkhotbah menggunakan “bahasa gaul” tergantung siapa pendengar khotbah. Semua khotbah selalu mempertimbangkan kepada siapa pendengar khotbah ditujukan.
Lebih lanjut, menurut Pendeta Rom Tampubolon Khotbah tidak bergantung kepada selera pengkhotbah, namun isi dari khotbah perlu melihat kebutuhan pendengar khotbah pada zaman modern ini. Tentu kebutuhan dan tantangan zaman dahulu sudah berbeda dengan zaman sekarang. Tidak bisa kita abaikan dunia masih seperti dulu, bukan “pengkhotbahnya” yang menjadi perhatian tetapi “sajiannya”.
Sehingga menggunakan “bahasa gaul” dalam berkhotbah boleh-boleh saja namun perlu memperhatikan kepada siapa pendengar khotbah. Jika khotbah ditujukan kepada kaum milenial tentu saja khotbah tersebut jika menggunakan bahasa gaul dalam berkhotbah akan lebih menarik dan cocok terhadap kaum milenial.
Bahasa gaul tidak berarti semua buruk. Tidak semua bahasa gaul negatif, ada juga yang positif. Oleh karena itu kita juga harus memilih bahasa gaul yang kita gunakan. Bahasa gaul merupakan ekspresi kaum milenial dalam menanggapi suatu hal. Bahasa gaul dapat menjadi sarana membangun interaksi pengkhotbah dan kaum milenial. Intinya menggunakan “bahasa gaul” dalam berkhotbah boleh-boleh saja namun juga harus mampu memilih bahasa gaul yang dipakai dalam berkhotbah. Menggunakan bahasa gaul juga harus memperhatikan siapa pendengar khotbah.(**)